Hadits Dha'if

Tulisan Baru

LAZISMUH

Download

SELAMAT DATANG

Senin, 29 Oktober 2012

Hadist-Hadist Dhaif Seputar Ziarah Kubur

Hadist-Hadist Dhaif Seputar Ziarah Kubur

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين
Terdapat sebuah pertanyaan yang telah diajukan kepadaku sebagai berikut :
“Kami meminta fatwa kepada anda wahai Syaikh, semoga Allah menjaga Anda. Telah terjadi sebuah perdebatan antara dua orang, mereka mempermasalahkan apakah diperbolehkan untuk berniat untuk melakukan safar semata-mata hanya untuk mengunjungi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa berniat untuk mengunjungi masjid Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Jawaban :
Sesungguhnya pada permulaan Islam, syari’at telah melarang untuk melakukan ziarah kubur, karena pada masa itu manusia baru saja terlepas dari peribadatan kepada berhala. Kemudian hukum tersebut dihapus berdasarkan sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :
((كنتُ نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها فإنها تذكركم الآخرة )).
“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka sekarang berziarahlah kalian, karena sesungguhnya hal itu mengingatkan kalian akan hari akhirat”. [HR. Muslim (977), Abu Dawud (3235), Tirmidzi (1054), Nasaai (4/89), Ahmad (5/356) dan selain mereka dari hadits Buraidah].
Sejak saat itu ziarah kubur diperbolehkan bagi kaum lelaki namun tidak diperbolehkan bagi kaum wanita sehingga hukum untuk berziarah kubur bagi mereka (wanita-pent) adalah haram hingga hari kiamat (terdapat khilaf dalam permasalahan ini, anda dapat melihat artikel kami yang berjudul ‘Ada Apa dengan Ziarah Kubur’ , pent) berdasarkan hadits Ibnu Abbas radliallahu anhuma yang diriwayatkan Abu Dawud, Tirmidzi dan selain keduanya.
((لعن رسول الله r زائرات القبور)) الحديث.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para wanita peziarah kubur”. [HR. Abu Dawud nomor 3232, Tirmidzi nomor 320, An Nasaai 4/95 dan Ibnu Majah nomor 1575 dari jalan Abu Shalih dari Ibn Abbas secara marfu'. Hadits ini memiliki dua penguat, yang pertama adalah hadits Abu Hurairah diriwayatkan oleh Tirmidzi nomor 1056, Ibnu Majah nomor 1576 dari Umar bin Abu Salamah dari ayahnya secara marfu' dengan lafadz,لعن الله زوارات القبور . Kedua adalah hadits Hasan bin Tsabit diriwayatkan Ibnu Majah nomor 1574, Bukhari dalam At Tarikhul Kabir (3/29), Ahmad (3/442-443), dan Ibnu Abi Syaibah (3/354) dari jalan Abdurrahman bin Bahman dari Abdurrahman bin Hassan bin Tsabit dari ayahnya dengan lafadz, لعن رسول الله زوارات القبور.
[Syaikh (Hammad) berkata: Hadits shahih dari jalan Abu Shalih dari Ibnu Abbas, salah satu pendapat menatakan bahwa Abu Shalih ini adalah Baadzam maula Umm Hani', namun pendapat yang lain mengatakan dia adalah Mizan Al Bashriy. Perselisihan tersebut tidak terlalu berarti sehingga derajat hadits ini tetap shahih, karena riwayat Baadzam apabila diriwayatkan Muhammad bin Juhadah, maka derajat haditsnya shahih, berbeda apabila riwayatnya diriwayatkan oleh Al Kalbiy dan yang semisalnya. Sedangkan, pendapat yang mengatakan bahwa Abu Shalih itu adalah Mizan Al Bashriy, maka tidak ragu lagi bahwa riwayat darinya merupakan riwayat yang shahih, karena beliau adalah seorang yang tsiqat, tidak terdapat inqitho' (keterputusan sanad), tadlis (pengaburan) dan irsal (penyebutan riwayat langsung kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa menyebutkan sahabat yang meriwayatkan hadits) dalam riwayat yang dibawakannya].
Begitu pula melakukan perjalanan yang sangat jauh ke suatu kuburan secara khusus merupakan suatu perbuatan yang diharamkan berdasarkan hadits Abu Hurairah dalam shahihain,
لا تشدّ الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد …
“Janganlah memaksakan suatu perjalanan (safar) dalam rangka beribadah, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut”. [HR. Bukhari nomor 1189 dan Muslim nomor 1397].
Dalam hadits ini terkandung pensyari’atan untuk melakukan safar (rihal) ke salah satu dari tiga masjid berikut, yaitu Masjidil Haram, Masjid An Nabawi dan Masjid Al Aqsho. Adapun bersafar ke selain tiga masjid di atas, maka hal tersebut merupakan perbuatan terlarang berdasarkan hadits tersebut, sehingga tidak diperbolehkan bagi seseorang berniat semata-mata untuk berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa mengunjungi Masjid Nabawi, namun jika dia berniat untuk mengunjungi Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hal ini diperbolehkan berdasarkan hadits yang mensyari’atkan ziarah kubur bagi laki-laki.
Tidak terdapat nash yang shohih yang menunjukkan bolehnya melakukan rihal (safar) ke kuburan tertentu baik itu kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau selain kuburan beliau. Selain itu, tidak terdapat satupun nukilan (yang shahih) dari seorang sahabat atau dari para tabi’in bahwasanya mereka melakukan rihal dengan niat semata-mata untuk berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ke kuburan selain kuburan beliau. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbuatan tersebut bukanlah suatu tuntunan dari pada pendahulu kita yang shalih.
‘Aisyah radliallohu ‘anha meriwayatkan hadits dari Nabi secara marfu’,
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak berasal dari perkara agama kami, maka amalannya tertolak”. [HR. Muslim 1718].
Oleh karena itu, segala kebaikan adalah dengan mengikuti salaf (para pendahulu) dan segala keburukan adalah dalam perbuatan yang diada-adakan kaum khalaf (kaum mutaakhir).
(Namun) belakangan ini, terdapat sebagian orang -yang menisbatkan dirinya pada ilmu- berdalil dengan hadits-hadits palsu dan dlo’if untuk membolehkan seseorang bersafar dengan niat semata-mata untuk berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ke selain kuburan beliau. Oleh karena itu aku terdorong untuk memaparkan dalil-dalil mereka disertai penjelasan akan kebatilan dan kelemahannya berdasarkan penjelasan para imam ahli hadits.
Maka aku katakan setelah memohon pertolongan kepada Allah :
Beberapa dalil yang digunakan untuk membolehkan bersafar dengan niat semata-mata berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ke kuburan selain kuburan beliau
(( من زار قبري وجبت له شفاعتي )).
“Barangsiapa yang berziarah ke kuburanku maka dia berhak mendapatkan syafa’atku”
Diriwayatkan oleh Abus Syaikh dan Ibnu Abid Dunya dari Ibnu ‘Umar. Hadits ini terdapat dalam Shohih Ibnu Khuzaimah dan beliau telah mengisyaratkan akan kelemahan hadits tersebut [Al Maqoshidul Hasanah nomor 112], beliau berkata :
“Aku merasa di dalam sanad hadits ini terdapat suatu (cacat), namun aku belum mengetahuinya secara pasti”. [Lihat At Talkhisul Khabir 2/367, Lisanul Mizan 6/135].
Aku (Syaikh Hammad-pent) berkata : Dalam sanad hadits ini terdapat 2 rawi yang majhul, yaitu
1. Abdulloh Ibnu Umar al Umary. Abu Hatim berkata : “Dia majhul
2. Musa ibnu Hilal Al Bashriy Al ‘Abdiy. Abu Hatim berkata : ‘Dia majhul‘. [Al Jarh wat Ta’dil 8/166].
Al Uqailiy berkata : “Haditsnya tidak shahih dan tidak bisa dikuatkan”. [Adl Dlu’afa 4/170].
Adz Dzahabi berkata : “Riwayat termungkar yang dia riwayatkan adalah hadits dari Abdulloh ibn umar (al Umariy) dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhu …”. Kemudian beliau menyebutkan hadits tersebut. [Mizanul I’tidal 4/226].
Terdapat riwayat lain dengan lafadz :
(من زار قبري حلت له شفاعتي )
“Barangsiapa yang berziarah ke kuburku, maka dia berhak mendapatkan syafa’atku”.
(( من حج فزار قبري بعد وفاتي كان كمن زارني في حياتي )).
“Barangsiapa yang berhaji kemudian berziarah ke kuburku setelah aku wafat, maka seakan-akan dia berziarah kepadaku sewaktu aku masih hidup”.
Diriwayatkan Thabrani dan Baihaqi dari Ibnu Umar. [HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 12/406, Al Baihaqiy dalam Sunanul Kubra 5/246 dan dalam Syu’abul Iman 8/92-93]. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Hafsh ibn Sulaiman Al Qoriy.
Imam Ahmad ibn Hambal berkata tentangnya : “Matrukul Hadits“. [Al Ilal 2298].
Imam Bukhari mengatakan : “Tinggalkan haditsnya!”. [At Tarikhul Kabir 2/363].
Ibnu Khorasy berkata : “Dia pendusta dan seorang pemalsu hadits”.
Adz Dzahabi menjelaskan kemungkaran  hadits ini dalam kitab Ad Dlu’afa karya Imam Bukhari. [Mizanul I’tidal 1/559].
(( من زارني بالمدينة محتسباً كنت له شهيداً أو شفيعاً يوم القيامة)).
Barangsiapa yang mengunjungiku di Madinah dengan mengharap pahala, maka aku akan menjadi saksi dan pemberi syafa’at baginya di hari kiamat kelak”. [HR. Al Baihaqiy dalam Syu’abul Iman 8/95 dari jalan Sulaiman bin Yazid dari Anas].
Diriwayatkan oleh Baihaqiy dari Anas, dan di dalam sanadnya terdapat Abul Matsna Sulaiman ibn Yazid al Ka’biy.
Adz Dzahabi berkata : “Dia matruk (haditsnya)”
Abu Hatim berkata : “Mungkarul hadits”. [Al Jarh wat Ta’dil 4/149].
Ibnu Hibban berkata : “Tidak boleh berdalil dengan haditsnya”. [Al Majruhin 3/151].
(( من حج ولم يزرني فقد جفاني )).
“Barangsiapa yang berhaji dan tidak menziarahiku, maka sungguh dia telah berbuat kurang ajar terhadapku”
As Sakhowi berkata dalam Al Maqoshid : Tidak sah hadits ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Adiy dalam Al Kamil, Ibnu Hibban dalam Adl Dlu’afa dan Ad Daruquthniy dalam Al ‘Ilal, Ghoroibu Malik dari Ibnu Umar secara marfu’. [Al Maqoshidul Hasanah nomor 1178
Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizan : "Bahkan hadits ini palsu !!!" [Mizanul I’tidal 4/256].
(( من زار قبري ـ أو قال: من زارني ـ كنت له شفيعاً أو شهيداً، ومن مات بأحد الحرمين بعثه الله من الآمنين يوم القيامة )).
“Barangsiapa yang berziarah ke kuburku- atau beliau berkata: Barangsiapa yang menziarahiku-, maka aku akan menjadi pemberi syafa’at dan saksi baginya. Barangsiapa yang mati di salah satu dari dua tanah haram, maka Allah akan membangkitkannya di hari kiamat kelak dalam golongan orang-orang yang terpercaya (Al Aaminiin)”.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath Thayalisiy dalam Musnadnya dari Umar ibnul Khaththab. [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisiy nomor 65].
Di dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang majhul. Gambaran lengkap dari hadits ini adalah sebagai berikut :
Abu Dawud berkata : Siwar ibn Maimun Abul Jarah Al abdiy menceritakan kepada kami, dia berkata salah seorang keluarga Umar menceritakan kepadaku sebuah hadits dari Umar, dia (Umar) berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, …….”
(( من زارني بعد موتي فكأنما زارني في حياتي، ومن مات بأحد الحرمين بعث من الآمنين يوم القيامة )).
“Barangsiapa yang menziarahiku sepeninggalku, maka seakan-akan dia telah menziarahiku ketika aku masih hidup. Barangsiapa mati di salah satu dari dua tanah haram, maka dia akan dibangkitkan dalam golongan Al Aminiin di hari kiamat kelak”
Diriwayatkan oleh Ad Daruquthniy dalam Sunannya dan Ibnu Asakir dari Hathib. [HR. Ad Daruquthni dalam Sunannya (2/278), Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/278) dari jalan Harun Abu Faz'ah dari seorang keluarga Hathib dari Hathib]. Di dalam sanadnya terdapat Harun Abu Faz’ah atau Ibnu Abi Faz’ah.
Bukhari berkata tentangnya : “Hadits ini tidak disetujui”. [Lihat Adl Dlu’afaa karya Al Uqailiy (4/363), Al Kamil karya Ibnu 'Adi (7/2577].
Guru Abu Faz’ah juga majhul.
Adz Dzahabi menyebutkan hadits Hathib ini dalam Al Mizan dan juga hadits Umar sebelumnya yang termasuk diantara hadits-hadits mungkar yang diriwayatkan Harun ibn Abi Faz’ah. [Mizanul I’tidal 4/256].
(( من زارني وزار أبي إبراهيم في عام واحد دخل الجنة )).
“Barangsiapa yang menziarahiku dan menziarahi ayahku Ibrahim dalam tahun yang sama, maka dia masuk surga”.
An Nawawi berkata dalam Al Majmu’ : “Hadits palsu, tidak memiliki sanad! Tidak diriwayatkan oleh seorang pun yang ahli dalam ilmu hadits”. [Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 8/261].
(( من جاءني زائراً لم تنـزعه حاجة إلا زيارتي كان حقاً عليَّ أن أكون له شفيعاً يوم القيامة )).
“Barangsiapa yang mengunjungiku dan semata-mata beniat untuk berziarah kepadaku semata, maka pasti aku akan menjadi pemberi syafa’at baginya di hari kiamat kelak”
Diriwayatkan oleh Ibnun Najar dalam Ad Durrah Ats Tsaminah fii Tarikhil Madinah [halaman 143] dan Ad Daruquthniy [dalam Al Afrad wal Gharaib]. Dalam sanadnya terdapat Maslamah ibn Salim.
Adz Dzahabi berkata tentangnya dalam Diwan Adl Dlu’afa [hal.385]: “Dia terpengaruh dengan bid’ah Jahmiyah”.
Ibnu Abdil Hadi berkata : “Keadannya tidak diketahui dan tidak diketahui darimana dia mengambil ilmu dan tidak boleh berhujjah dengan khabarnya dan dia serupa dengan Musa  ibn Hilal Al ‘Abdiy yang telah lewat penjelasannya”. [Ash Sharimul Manky hal.36].
(( من لم يزر قبري فقد جفاني )).
“Barangsiapa yang tidak berziarah ke kuburanku, maka sungguh dia telah berbuat kasar kepadaku”
Diriwayatkan oleh Ibnun Najar dalam Tarikhil Madinah tanpa sanad dengan memakai sighat tamridl (tidak tegas-pent), dengan lafadz : “Diriwayatkan dari Ali dia berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, …….”. [Ad Durroh Ats Tsaminah hal.144].
Ibnu ‘Abdil Hadiy berkata : “Hadits ini termasuk salah satu dari sekian banyak hadits palsu yang sengaja disandarkan secara dusta kepada sahabat Ali ibn abi Tahlib”. [Ash Sharimul Manky hal. 151].
Aku (Syaikh Hammad) berkata : Dalam sanad hadits tersebut terdapat An Nu’man ibn Syibl Al Bahily dan dia tertuduh sebagai pemalsu hadits.
Ibnu Hibban berkata : “Dia sering membawakan riwayat-riwayat lemah”.
Adz Dzahabi telah menyebutkan perihal dirinya dalam Mizanul I’tidal 4/65].
Di dalam sanadnya juga terdapat Muhammad ibn Al Fadl ibn ‘Athiyyah Al Madiniy. Dia adalah seorang pendusta dan masyhur akan kedustaannya sekaligus seorang pemalsu hadits.
Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizan [4/6] : “Imam Ahmad berkata : “Haditsnya adalah hadits seorang pendusta”. [Al Ilal 2/549].
Ibnu Ma’in berkata : “Al Fadl ibn ‘Athiyyah adalah seorang yang tsiqah adapun anaknya yang bernama Muhammad adalah seorang pendusta”. [Al Jarh wat Ta’dil 8/75].
Adz Dzahabi berkata : “Hadits-hadits mungkar yang diriwayatkan oleh orang ini banyak”. [Mizanul I’tidal 4/6]. Beliau juga berkata : “Al Fallasi berkata : “Dia (Muhammad-pent) adalah seorang pendusta”. [Mizanul I’tidal 4/6].
Al Bukhari berkata : “Diamkanlah hadits yang dia riwayatkan. Ibnu Abi Syaibah telah menegaskan dia adalah seorang pendusta”. [At Tarikhul Kabir 1/208, Mizanul I’tidal 4/6].
Hadits ini telah diriwayatkan dari Ali secara marfu’ [Lihat Ash Sharimul Manky hal.151-152] dengan suatu sanad yang di dalamnya terdapat seorang yang bernama Abdul Malik ibn Harun ibn Anthirah dan dia tertuduh sebagai seorang pendusta dan pemalsu hadits.
Yahya berkata : “Dia seorang pendusta”. [Tarikhud Dauriy 2/376].
Abu Hatim berkata : “Matruk dzahibul hadits (ditinggalkan haditsnya-pent)”. [Al Jarh wat Ta’dil 4/374].
As Sa’di berkata : “Dia seorang kadzdzab (pendusta)”. [Mizanul I’tidal 2/666].
Adz Dzahabi berkata : “Dia tertuduh melakukan pemalsuan hadits : “Barangsiapa yang berpuasa di salah satu hari dari hari-hari Al Baidh, maka setara dengan puasa 10.000 tahun.”. [Mizanul I’tidal 2/667].
Oleh karenanya al Kadzdzab- Abdul Malik ibn Harun memiliki kebusukan-kebusukan yang banyak, lihatlah dalam Al Mizan karya Adz Dzahabi [2/666-667].
10ـ (( من أتى زائراً لي وجبت له شفاعتي … )) الحديث.
“Barangsiapa yang berziarah kepadaku, maka dia berhak mendapatkan syafa’atku”
Diriwayatkan oleh Yahya Al Husaini dari Bakiir ibn Abdillah secara marfu’.
Ibnu Abdil Hadi berkata : “Hadits ini adalah hadits batil, tidak memiliki sanad dan tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk membolehkan safar ke suatu kuburan tertentu”. [Ash Sharimul Manky hal. 153].
11ـ (( من لم تمكنه زيارتي فليزر قبر إبراهيم الخليل )).
“Barangsiapa yang tidak mampu untuk menziarahiku, maka hendaklah dia menziarahi kubur Ibrahim Al Khalil”.
Ibnu Abdil Hadi berkata : “Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang dusta dan khabar-khabar yang palsu. Para penuntut ilmu yang pemula pun tahu bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu dan merupakan khabar yang direkayasa.
Penyebutan  hadits ini tanpa menyebutkan cacat yang terdapat di dalamnya, merupakan buah hasil yang disebabkan kejelekan orang yang menisbatkan dirinya pada ilmu”. [Ash Sharimul Manky hal.53].
12ـ (( من حج حجة الإسلام، وزار قبري، وغزا غزوة، وصلى عليَّ في بيت المقدس لم يسأله الله فيما افترض عليه ))
“Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji yang menjadi kewajibannya, menziarahi kuburku, pernah berjihad dan bershalawat kepadaku di Baitul Maqdis, maka di hari kiamat kelak Allah tidak akan bertanya padanya perihal segala kewajiban yang dibebankan padanya”. [Ash Sharimul Manky hal.13-141].
Diriwayatkan Abul Fath Al Azdiy dalam juz kedua dalam Fawaid-nya dengan sanadnya hingga Abu Sahl Badr bin Abdillah Al Mushishi dari Al Hasan bin Utsman Az Ziyadi.
Adz Dzahabi berkata : Hadits Badr dari Al Hasan bin Utsman Az Ziyadi adalah hadits yang batil-yaitu hadits ini-, dan An Nu’man bin Harun telah meriwayatkan hadits ini darinya”. [Mizanul I’tidal 1/300].
Sesungguhnya Abul Fath adalah seorang perawi yang dlo’if.
Ibnul Jauzy berkata tentangnya : “Dia adalah seorang hafizh, namun banyak riwayat yang mungkar dalam haditsnya dan para ulama hadits telah melemahkannya”. [Adl Dlu’afaa karya Ibnul Jauzy 2/53].
Al Khatib berkata : “Dia tertuduh memalsukan hadits”. [Tarikh Baghdad 2/244].
Al Barqaniy melemahkannya dan ahli hadits tidak menganggapnya sama sekali. [Mizanul I’tidal 3/523].
13ـ (( من زارني حتى ينتهي إلى قبري كنت له يوم القيامة شهيداً أو قال شفيعا )).
“Barangsiapa yang mengunjungiku hingga berakhir di kuburanku, maka aku akan menjadi saksi baginya di hari kiamat kelak-dan dikatakan juga sebagai/menjadi pemberi syafa’at baginya-”.
Diriwayatkan Al Uqaili dalam Adl Dlu’afa [3/457] dari Ibnu Abbas secara marfu’ dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Azakir.
Hadits ini adalah hadits yang dipalsukan atas nama Ibnu Juraih.
Ibnu Abdil Hadi berkata : “Telah terjadi kesalahan dalam matan dan sanadnya. Kesalahan yang terjadi pada matannya, adalah dalam perkataan : ((
من زارني )) ‘Barangsiapa yang menziarahiku’, yaitu dari kata الزيارة Az Ziyarah“, padahal matan yang benar adalah,
(( من رآني في المنام كان كمن رآني في حياتي ))
“Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi maka seakan-akan melihatku semasa hidupku.” Demikianlah yang tertera di kitab Al Uqaili dalam cetakan Ibnu Asakir, yaitu (( من رآني)) dari kata الرؤيا “Ar Ru’yaa”. Berdasarkan keterangan ini, maka maknanya benar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
(( من رآني في المنام فقد رآني، لأن الشيطان لا يتمثل بي ))
“Barangsiapa yang melihatku di dalam mimpi, maka sungguh dia telah melihatku, karena syaithan tidak mampu menyerupaiku”.
Adapun kesalahan yang terjadi pada sanadnya, adalah perkataannya, “Sa’id bin Muhammad Al Hadrami”, namun yang benar adalah “Syu’aib bin Muhammad” sebagaimana riwayat Ibnu Asakir.
Kesimpulannya, hadits ini tidak shahih, baik dengan lafadz “Az Ziyarah” maupun “Ar Ru’ya”, karena salah seorang rawinya, yaitu Fudlalah bin Sa’id bin Zamil Al Muzni adalah seorang yang majhul, dirinya tidak diketahui melainkan dari khabar ini yang dia bersendirian dengannya dan tidak disetujui”. [Ash Sharimul Manky hal. 150].
Adz Dzahabi berkata : “Al Uqailiy berkata, ‘Haditsnya tidak terpelihara. Sa’id bin Muhammad Al Hadrami memberitakan kepada kami, Fudlalah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Yahya menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraih dari Atha’ dari Ibnu Abbas secara marfu’, :
(( من زارني في مماتي كان كمن زارني في حياتي)).
“Barangsiapa menziarahiku sewaktu aku telah wafat, maka dia seperti orang yang menziarahiku semasa aku hidup”.
Adz Dzahabi berkata : “Hadits ini dipalsukan atas Ibnu Juraih”. [Mizanul I’tidal 3/348-349].
14ـ (( ما من أحد من أمتي له سعة ثم لم يزرني فليس له عذر)).
“Tidaklah salah seorang dari umatku yang memiliki kelapangan namun tidak menziarahiku, maka tidak ada udzur baginya (untuk terlepas dari dosa)”.
Diriwayatkan oleh Ibnun Najjar dalam At Tarikhul Madinah [hal.143-144] dari sahabat Anas. Di dalam sanadnya ada seorang  yang bernama Sam’an bin Al Mahdi.
Adz  Dzahabi berkata : “Jalur periwayatan Sam’an bin Al Mahd dari Anas bin Malik tidak diketahui, dan jalur ini berkaitan dengan sebuah riwayat palsu. Aku telah menelitinya dan semoga Allah memburukkan keadaan orang-orang yang memalsukannya”. (Mizanul I’tidal 2/234).
Ibnu Hajar berkata : “Riwayat ini berasal dari Muhammad ibnul Muqatil Ar Razi dari Ja’far ibn Harun Al Wasithi dari Sam’an, kemudian beliau menyebutkan riwayat tersebut yang berjumlah lebih dari 300 hadits”. (Lisanul I’tidal 3/114).
Saya (Syaikh Hammad) berkata : “Inilah 14 hadits yang dijadikan dalil bagi mereka yang membolehkan untuk melakukan perjalanan jauh ke kuburan tertentu dan dalil-dalil ini pulalah yang mereka jadikan dalil untuk membolehkan berkunjung ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak berkunjung ke masjid beliau.
Telah jelas bahwa seluruh hadits ini bukanlah hadits yang shahih, bukan pula termasuk hadits yang hasan, bahkan semuanya hadits yang sangat lemah, palsu dan tidak memiliki sanad untuk diperiksa sebagaimana yang dipaparkan para imam ilmu hadits secara terperinci kepadamu.
Janganlah anda terpedaya dengan banyaknya jalur periwayatan dari hadits-hadits tersebut, karena betapa banyak hadits yang memiliki jalur periwayatan yang banyak, namun di sisi lain ternyata hadits tersebut adalah hadits palsu, karena banyaknya jalur periwayatan tidak akan bermanfaat apabila riwayat tesebut berasal dari para pendusta, orang yang dituduh berdusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, rawi yang matruk, atau rawi yang majhul seperti yang telah anda saksikan sendiri. Sesungguhnya hadits-hadits di atas tidak terlepas dari para rawi pendusta, muttaham (orang yang dituduh berdusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), rawi yang matruk atau rawi majhul yang tidak dapat dilacak identitasnya.
Riwayat-riwayat semisal ini (yaitu riwayat yang memiliki banyak jalur periwayatan namun berasal dari para rawi yang pendusta-pent) tidak mampu untuk saling menguatkan sebagaimana yang telah diketahui di kalangan ahli hadits. Hal itu apabila tidak terdapat hadits shahih yang bertentangan dan membatalkan riwayat tersebut, maka bagaimana apabila terdapat hadits yang shahih yang melarang untuk memaksakan perjalanan ke tempat-tempat tertentu selain ketiga masjid di atas?!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidha’ Shirathil Mustaqim fii Mukhalafatil Ashabil Jahim (2/772-773) :
“Tidak terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh pengarang kitab shahih, sunan dan imam-imam penyusun kitab musnad seperti imam Ahmad dan selain beliau tentang bolehnya berziarah ke kuburan tertentu. Namun riwayat-riwayat yang membolehkan hal tersebut merupakan riwayat palsu dan semisalnya. Hadits yang paling baik sanadnya dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni, namun sanad hadits ini lemah sebagaimana kesepakatan ahli ilmu ketika membincangkan hadits-hadits ziarah kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti perkataan :
(( من زارني وزار أبي إبراهيم الخليل في عام واحد ضمنت له على الله الجنة))،
“Barangsiapa yang menziarahiku dan ayahku, Ibrahim Al Khalil pada tahun yang sama, maka aku menjamin surga baginya di hadapan Allah kelak”, dan juga hadits
(( من لم يحج ولم يزرني فقد جفاني ))
“Barangsiapa yang tidak berhaji dan menziarahiku, maka dia telah mendurhakaiku”, dan hadits-hadits palsu semisalnya.
Saya (Syaikh Hammad Al Anshori) katakan : Inilah pendapat yang benar, maka barangsiapa dari mereka yang memiliki hujjah berupa hadits yang shahih dalam permasalahan ini – yang aku maksudkan adalah permasalahan bolehnya memaksakan perjalanan ke kuburan tertentu-, maka hendaknya dia menjelaskan kepada kami.
Adapun hadits-hadits yang telah lewat adalah hadits-hadits palsu, dan hadits-hadits shahih yang mereka kemukakan bukanlah hujjah untuk membolehkan perjalanan ke selain tiga masjid di atas, bahkan hal tersebut adalah dalil untuk melakukan ziarah kubur yang disyari’atkan oleh agama ini.
Dalam pembahasan ziarah kubur yang disyariatkan ini terdapat nash-nash yang shahih dan tegas yang cukup untuk menolak hadits-hadits batil di atas, yaitu hadits-hadits yang tidak layak untuk dijadikan dalil untuk menetapkan hukum-hukum syar’i apapun bentuknya, bahkan hadits-hadits batil tersebut tidak layak untuk disebutkan di depan khalayak ramai kecuali disertai penjelasan bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu atau lemah dan tidak diperbolehkan untuk berhujjah dengannya sehingga tidak tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Muslim dan selainnya dari Al Mughirah ibn Syu’bah dan Samarah ibn Jundab secara
(( من حدّث عني بحديث يُرى انه كذب فهو أحد الكاذبين))
Barangsiapa yang menyampaikan suatu hadits dan dia mengetahui bahwa hadits tersebut adalah dusta, maka dia adalah seorang pendusta”, [HR. Muslim dalam muqoddimah Shahihnya (1/9) dari sahabat Al Mughirah ibn Syu'bah dan Samurah ibn Jundab].
Minggu, 28 Oktober 2012

Hadits Dha'if seputar Puasa Rajab dan Keutamaannya


(alamislam.com) - Bulan Rajab adalah salah satu Bulan Haram yang disebutkan dalam firman Allah:

نَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu ....” (At-Taubah: 36).
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ
“Satu tahun itu dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram, tiga darinya berturut-turut, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharam, dan Rajab ....

Bulan-bulan tersebut dinamai bulan-bulan haram karena:
1.    Haram berperang pada bulan-bulan tersebut, kecuali diserang oleh musuh.
2.    Larangan melakukan sesuatu yang diharamkan lebih keras pada bulan-bulan tersebut.

Itulah sebabnya, berkaitan dengan sebab kedua tersebut, Allah berfirman, “...janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” Melakukan maksiat pada bulan apa pun memang dilarang, tetapi pada bulan-bulan haram lebih keras larangannya. Analoginya adalah berzina itu dosa besar, tetapi berzina dengan istri tetangganya sendiri lebih besar dosanya.
Tentang Puasa Rajab
Berkaitan dengan puasa pada bulan Rajab, tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan keutamaan puasa pada bulan ini secara khusus, atau tentang anjuran puasa pada sebagian hari pada bulan tersebut secara khusus. Jadi, bila ada sebagian orang yang mengkhususkan bulan ini untuk berpuasa, maka tidak ada asalnya dari syariat.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa: XXV/290) menjelaskan, “Tentang berpuasa pada bulan Rajab secara khusus, maka semua haditsnya dhaif, bahkan maudhu atau palsu. Ulama tidak berpegang pada hadits-hadits itu sama sekali.”

Ibnul Qayyim menyebutkan, “Semua hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada beberapa malam padanya merupakan kedustaan yang direka-reka.” (AL-manarul Munif: 96). Ibnu Hajar menyebutkan, “Tidak ada satu pun hadits yang shahih dan bisa dijadikan hujjah tentang keutamaan bulan Rajab, maupun puasa selama bulan itu dan puasa pada sebagian harinya, dan tidak pula tentang shalat malam khusus pada bulan tersebut.” (At-Tabyin: 11).

Syaikh Utsaimin ketika ditanya tentang puasa dan shalat malam pada 27 Rajab, menjawab, “Puasa dan shalat malam pada 27 Rajab, dan mengkhususkan hal itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” (Majmu’ Fatawa Ibni Utsaimin, XX/440).

Hadits dhaif tentang puasa Rajab:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ نَهْرًا يُقَاُل لَهُ رَجَبٌ مَاؤُهُ أَشَدُّ بِيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ وَأَحْلَى مِنَ اْلعَسَلِ مَنَ صَامَ يَوْمًا مِنْ رَجَبٍ سَقَاهُ اللهُ مِنْ ذَلِكَ النَّهْرِ
“Sesungguhnya di surga itu ada sungai bernama Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis daripada madu. Siapa yang berpuasa satu hari saja pada bulan Rajab, Allah akan memberikan minum dari sungai itu.”

Adz-Dzahabi mengatakan, “Hadits ini batil.” Syaikh Al-Albani menyatakan, hadits ini maudhu atau palsu. (Jami’ush Shaghir, hadits no. 4712).
Catatan: Maksud mengkhususkan adalah puasa yang khusus dilakukan pada bulan itu, sedangkan orang yang sebelumnya telah terbiasa berpuasa sunnah, baik puasa Daud, Senin Kamis, maupun lainnya tidak ada persoalan berpuasa pada bulan Rajab. Inilah keistimewaan Muslim yang memiliki kebiasaan puasa sunnah. Ia bisa tetap berpuasa pada hari-hari yang tidak boleh berpuasa secara khusus, kecuali hari Raya Islam atau yang diharamkan berpuasa. (Abu Ahmad)
Rabu, 17 Oktober 2012

HADITS-HADITS DHO'IF YANG TERKENAL

Beberapa Hadits-hadits Dho’if yang Terkenal (Masyur) di Masyarakat Kita

Posted by Admin pada 11/05/2009
Hadits-hadits lemah (Dho’if) yang tersebar di kalangan kaum muslimin banyak sekali, namun mereka tak sadar bahwa hadits-hadits Dho’if bukanlah berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, oleh karena itu kita tidak boleh berhujjah dan beramal dengan hadits dhoif tersebut.

Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina
Hadits dho’if (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil, dan hujjah dalam menetapkan suatu aqidah, dan hukum syar’i di dalam Islam. Demikian pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
Diantara hadits-hadits dho’if ‘lemah’, hadits yang masyhur digunakan oleh para khatib, dan da’ii dalam mendorong manusia untuk menuntut ilmu dimana pun tempatnya, sekalipun jauhnya sampai ke negeri Tirai Bambu, Cina.
Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,
اطلبوا العلم ولو بالصين
Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina”. [HR. Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (2/106), Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhol (241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ (1/7-8), dan lainnya, semuanya dari jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata, Abu ‘Atikah Thorif bin Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas secara marfu’]
Ini adalah hadits dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan sebagian ahli hadits menghukuminya sebagai hadits batil, tidak ada asalnya. Ibnul Jauziy –rahimahullah- berkata dalam Al-Maudhu’at (1/215) berkata, ‘’Ibnu Hibban berkata, hadits ini batil, tidak ada asalnya’’. Oleh karena ini, Syaikh Al-Albaniy –rahimahullah- menilai hadits ini sebagai hadits batil dan lemah dalam Adh-Dhaifah (416).
As-Suyuthiy dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan dua jalur lain bagi hadits ini, barangkali bisa menguatkan hadits di atas. Ternyata, kedua jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di atas, bahkan lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Ya’qub bin Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Al-Juwaibariy. Ringkasnya, hadits ini batil, tidak boleh diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Tuntutlah Duniamu
اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا, وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”.
Ini bukanlah sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, walaupun masyhur di lisan kebanyakan muballigh di zaman ini. Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Sangkaan seperti ini tidaklah muncul dari mereka, kecuali karena kebodohan mereka tentang hadits. Di samping itu, mereka hanya “mencuri dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi keabsahannya.
Hadits ini diriwayatkan dua sahabat. Namun kedua hadits tersebut lemah, karena di dalamnya terdapat inqitho’ (keterputusan) antara rawi dari sahabat dengan sahabat Abdullah bin Amer. Satunya lagi, Cuma disebutkan oleh Al-Qurthubiy, tanpa sanad. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy men-dho’if-kan (melemahkan) hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (no. 8).
Surat Yasin Hatinya Al-Qur’an
Banyak hadits-hadits yang tersebar di kalangan masyarakat menjelaskan keutamaan-keutamaan sebagian surat-surat Al-Qur’an. Namun sayangnya, banyak di antara hadits itu yang lemah, bahkan palsu. Maka cobalah perhatikan hadits berikut:
إن لكل شيء قلبا, وإن قلب القرآن (يس) , من قرأها فكأنما قرأ القرآن عشر مرات
Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, sedang hatinya Al-Qur’an adalah Surat Yasin. Barang siapa yang membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qua’an sebanyak 10 kali“. [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (4/46), dan Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat dua rawi hadits yang tertuduh dusta, yaitu: Harun Abu Muhammad, dan Muqotil bin Sulaiman. Karenanya, Ahli Hadits zaman ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- menggolongkannya sebagai hadits palsu dalam kitabnya As-Silsilah Adh-Dho’ifah (no.169).
Perselisihan Umatku adalah Rahmat
Sudah menjadi takdir Allah -Azza wa Jalla-, adanya perpecahan di dalam Islam dan memang hal tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Di negara kita sendiri, sekte-sekte dan aliran sesat yang menyandarkan diri kepada Islam sudah terlalu banyak. Apabila kita memperingatkan dan membantah kesesatan aliran-aliran tersebut, maka sebagian kaum muslimin membela aliran-aliran tersebut. Mereka berdalil dengan hadits berikut,
إِخْتِلَافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Padahal hadits ini dho’if (palsu), bahkan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini tak ada asalnya. Para ahli hadits telah mengerahkan tenaga untuk mendapatkan sanadnya, namun tak mampu”.
Dari segi makna, haditsjugabatil. Ibnu Hazm -rahimahullah- dalam Al-Ihkam (5/64) berkata, “Ini merupakan ucapan yang paling batil, karena andaikan ikhtilaf (perselisihan)itu rahmat, maka kesepakatan adalah kemurkaan. Karena, disana tak ada sesuatu, kecuali kesepakatan, dan perselihan; tak ada, kecuali rahmat atau kemurkaan“.
Barangsiapa Mengenal Dirinya, Dia Akan Mengenal Rabb-Nya
Di sani ada sebuah hadits yang palsu, dan tidak ada asalnya, namun sering digunakan oleh sebagian orang sufi untuk menguatkan kesesatan mereka. Hadits itu berbunyi,
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبّـَهُ
Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka sungguh dia akan mengenal Rabb (Tuhan)-Nya”.
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Adh-Dha’ifah (1/165) berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya” [Adh-Dha’ifah (1/165)]. An-Nawawiy berkata, “Hadits ini tidak tsabit (tidak shahih)” [Al-Maqashid (198) oleh As-Sakhowiy].
As-Suyuthiy berkata, “Hadits ini tidak shahih” [Lihat Al-Qoul Asybah (2/351 Al-Hawi)].
Ringkasnya, hadits ini merupakan hadits palsu yang tidak ada asalnya. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh mengamalkannya, dan meyakininya sebagai sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Keutamaan Menamatkan Al-Quran
Membaca Al-Qur’an, apalagi menamatkannya merupakan keutamaan besar bagi seorang hamba, karena setiap hurufnya diberi pahala oleh Allah -Ta’ala- . keutamaan tersebut telah dijelaskan dalam beberapa hadits, tapi bukan hadits berikut, karena haditsnya palsu. Bunyi hadits palsu ini:
إِذَا خَتَمَ الْعَبْدُ الْقُرْآنَ صَلَّى عَلَيْهِ عِنْدَ خَتْمِهِ سِتُّوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ
Jika seorang hamba telah menamatkan Al Qur’an, maka akan bershalawat kepadanya 60.000 malaikat ketika ia menamatkannya” . [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/112)].
Hadits ini palsu disebabkan oleh rawi yang bernama Al-Hasan bin Ali bin Zakariyya, dan Abdullah bin Sam’an. Kedua orang ini adalah pendusta, biasa memalsukan hadits. Syaikh Al-Albaniy menyatakan kepalsuan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2550).
Macam-macam Wanita
Di dunia ini wanita ini bermacam-macam jenisnya. Ada yang seperti kantong plastik, setelah dimamfaatkan dibuang. Ada juga yang sama sekali tidak ada mamfaatnya, bahkan merusak yang lain. Namun yang terbaik adalah wanita yang banyak memberi mamfaat bagi dirinya, dan orang lain, terutama suami. Dia membantu diri dan suaminya di atas ketaatan. Konon kabarnya nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
النِّسَاءُ عَلَى ثَََََلَاثَةِ أَصْنَافٍ صِنْفٍ كاَلْوِعَاءِ تَحْمِلُ وَتَضَعُ وَصِنْفٍ كَالْعَرِّ وَهُوَ الْجَرَبُ وَصِنْفٍ وَدُوْدٍ وَلُوْدٍ تُعِيْنُ زَوْجَهَا عَلَى إِيْمَانِهِ فَهِيَ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الْكَنْزِ
Wanita-wanita itu ada tiga macam: kelompok wanita seperti bejana, ia hamil dan melahirkan; kelompok wanita seperti koreng – yaitu kudis- ; kelompok wanita yang amat penyayang, dan banyak melahirkan, serta membantu suaminya di atas keimanannya. Wanita ini lebih baik bagi suaminya dibandingkan harta simpanan“. [HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (206/2)]. 
Namun sayangnya hadits ini adalah hadits dho’if mungkar, karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Dinar. Dia adalah seorang rawi yang mungkar haditsnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu abi Hatim dalam Al-Ilal (2/310). Jadi, hadits ini tidak boleh dianggap sebagai sabda nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . karenanya, Syaikh Al-Albaniy memasukkan hadits ini dalam silsilah hadits dhoi’f dalam Adh-Dho’ifah (714). 
Memandang Wanita Cantik
Dan mungkin juga ada di antara kaum muslimin yang sering sekali memandang setiap wanita yang cantik dengan tujuan mempertajam penglihatannya, beramal dengan hadits berikut;
النََّظَرُ إِلىَ وَجْهِ المَرْأَةِ الحَسْنَاءِ وَالخُضْرَةِ يَزِيْدَانِ فِيْ البَصَرِ
Memandang wajah wanita cantik dan yang hijau-hijau menambah ketajaman penglihatan” .[HR. Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ (3/201-202), dan Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (4/106)] 
Memiliki pandangan yang tajam dan penglihatan yang jernih merupakan nikmat yang besar dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga terkadang seseorang menempuh berbagai cara untuk memperoleh penglihatan yang tajam. Dan mungkin juga ada di antara kaum muslimin yang sering sekali memandang setiap wanita yang cantik dengan tujuan mempertajam penglihatannya, beramal dengan hadits berikut;
النََّظَرُ إِلىَ وَجْهِ المَرْأَةِ الحَسْنَاءِ وَالخُضْرَةِ يَزِيْدَانِ فِيْ البَصَرِ
Memandang wajah wanita cantik dan yang hijau-hijau menambah ketajaman penglihatan” .[HR. Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ (3/201-202), dan Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (4/106)] 
Hadits ini maudhu’ (palsu), karena dalamnya ada rawi yang dho’if, dan tidak ditemukan ada seorang ahli hadits yang menyebutkan biografinya. Rawi itu ialah Ibrahim bin Habib bin Sallam Al-Makkiy. Karenanya, Adz-Dzahabiy berkata, “Hadits batil”. Ibnul Qoyyim dalam Al-Manar Al-Munif berkata, “Hadits ini dan semisalnya adalah buatan orang-orang zindiq (munafiq)” [Lihat Adh-Dho’ifah (133)]
Menjaga Mata ketika Jima’ (Bersetubuh)
Melihat kemaluan istri ketika berhubungan adalah boleh berdasarkan hadits-hadits shahih. Adapun hadits yang berbunyi:
إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَاِريَتَهُ فَلَا يَنْظُرْ إِلَى فَرْجِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ الْعَمَى
Apabila seorang diantara kalian berhubungan dengan istrinya atau budaknya, maka janganlah ia melihat kepada kemaluannya, karena hal itu akan mewariskan kebutaan“. [HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/75)]. 
Maka hadits ini adalah palsu karena dalam sanadnya terdapat Baqiyah ibnul Walid. Dia adalah seorang mudallis yang biasa meriwayatkan dari orang-orang pendusta sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hibban. Lihat Adh-Dho’ifah (195) 
Merayu Istri
Bercumbu dan merayu istri adalah perkara yang dianjurkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Namun jangan kalian tertipu dengan hadits palsu berikut ini:
زينوا مجالس نسائكم بالمغزل
Hiasilah majelis istri-istri kalian dengan rayuan“. [HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil fi Adh-Dhu’afaa’ (6/130), dan Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (5/280)]
Hadits ini palsu, karena dalam rawi hadits ini terdapat Muhammad bin Ziyad Al-Yasykuriy. Dia seorang pendusta lagi suka memalsukan hadits. Lihat Adh-Dho’ifah (1/72/no.19) karya Al-Albaniy -rahimahullah-.
Perbanyak Dzikir Sampai Dianggap Gila
Di antara kebiasaan orang-orang sufi, mereka berdzikir dengan cara melampaui batas syariat Islam, yaitu berdzikir dengan bilangan yang memberatkan diri seperti berdzikir sebanyak 70 ribu kali, 100 ribu kali. Padahal, maksimal dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak 100 kali dalam dzikir-dzikir tertentu, bukan pada semua jenis dzikir.
Mereka membebani diri seperti ini, karena mendengar hadits berikut:
أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِاللهِ حَتى يَقُوْلُوْا مَجْنُوْنٌ
Perbanyaklah dzikir sehingga orang-orang berkata, engkau gila”. [HR. Ahmad (3/68), Al-Hakim (1/499), dan Ibnu Asakir (6/29/2)] 
Hadits ini lemah karena diriwayatkan oleh Darraj Abu Samhi. Dia lemah riwayatnya yang berasal dari Abul Haitsam. Di-dho’if-kan oleh syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (no. 517) (2/9). 
Barang Siapa Dunia adalah Cita-Citanya
Banyak hadits lemah dan palsu yang tersebar di masyarakat melalui lisan para khatib yang memiliki ilmu agama (khususnya ilmu hadits) sehingga banyak di antara masyarakat tertipu dan menyangkanya sebagai sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .
Dia ntara hadits tersebut :
مَنْ أَصْبَحَ وَالدُّنْيِا أَكْثَرُ هَمِّهِ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فَيْ شَيْءٍ وَمَنْ لَمْ يَتَّقِ اللهَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِيْ شَيْءٍ وَمَنْ لَمْ يَهْتَمَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً فَلَيْسَ مِنْهُمْ
Barang siapa yang berada di waktu pagi, sedang dunia adalah cita-citanya yang terbesar, maka ia tidak akan berada dalam suatu (jaminan) dari Allah sedikit pun. Barang siapa yang tidak bertaqwa kepada Allah, maka ia tidak akan berada dalam suatu (jaminan) dari Allah sedikit pun. Barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin seluruhnya, maka ia bukan termasuk di antara mereka“. [HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/317) Al-Khatib dengan penggalan pertama dari hadits ini dalam Tarikh Bagdad (9/373)]. 
Hadits ini palsu, karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh dusta, yaitu Ishaq bin Bisya. Hadits ini memiliki jalur periwayatan lain, namun ia tidak bisa menguatkan hadits di atas, karena kelemahannya tidak jauh beda dengannya. Oleh karenanya, Al-Albany menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dha’ifah (309) 
Sebab Kacaunya Bacaan Imam
Seorang imam terkadang salah dalam bacaannya. Jika ia salah, maka muncullah beberapa persangkaan yang buruk. Ada diantara mereka berpendapat bahwa kacaunya bacaan imam disebabkan adanya diantara jama’ah yang tak beres melaksanakan wudhu’ atau mandi junub. Ini didasari oleh hadits palsu yang bukan hujjah,seperti hadits yang berbunyi:
إِذَا صَلَّيْتُمْ خَلْفَ أَئِمَّتِكُمْ فَأَحْسِنُوْا
طُهُوْرَكُمْ فَإِنَّمَا يَرْتَجُّ عَلَى الْقَارِىءِ قِرَاءَتُهُ
بِسُوْءِ طُهْرِ الْمُصَلِّي خَلْفَهُ
Jika kalian sholat di belakang imam kalian, perbaikilah wudhu’ kalian, karena kacaunya bacaan imam bagi imam disebabkan oleh jeleknya wudhu’ orang yang ada di belakang imam“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/63)] 
Hadits ini palsu, sebab di dalamnya terdapat rowi yang majhul, seperti Abdullah bin Aun bin Mihroz, Abdullah bin Maimun. Rowi lain, Muhammad bin Al-Furrukhon, ia seorang yang tak tsiqoh. Dari sisi lain, sudah dimaklumi bahwa jika Ad-Dailamiy bersendirian dalam meriwayatkan hadits dalam kitabnya Musnad Al-Firdaus, maka hadits itu palsu. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy menyatakan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2629). 
Mengusap Kedua Kelopak Mata dengan Kedua Ibu Jari
Ada di antara kaum muslimin, biasa melakukan amalan yang terkadang tidak diketahui dasarnya. Setelah mengadakan pemeriksaan terhadap kitab-kitab hadits, ternyata berdasarkan hadits lemah, palsu, bahkan terkadang tidak ada dalilnya!!
Di antara amalan mereka ini yang tidak berdasar, yaitu mengusap kedua kelopak mata dengan kedua ibu jari. Mereka hanya berdasarkan hadits palsu yang dinisbahkan kepada Nabi Khidir.
Konon kabarnya Nabi Khidir -‘alaihis salam- berkata, “Barangsiapa yang mengucapkan selamat datang kekasihku dan penyejuk mataku, Muhammad bin Abdullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, kemudia ia mencium kedua ibu jarinya, dan meletakkannya pada kedua matanya, ketika ia mendengar muadzdzin berkata,
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً رَسُوْلُ اللهِ
Maka ia tidak sakit mata selamanya” [HR. Abul Abbas Ahmad bin Abu Bakr Ar-Raddad Al-Yamaniy dalam Mujibat Ar-Rahmah wa ‘Aza’im Al-Maghfirah dengan sanad yang terdapat di dalamnya beberapa orang majhul (tidak dikenal), disamping terputus sanadnya. Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam Adh-Dha’ifah (1/173) dari riwayat Ad-Dailamy dan Syaikh Masyhur Alu Salman dalam Al-Qoul Al-Mubin (hal.182)]
Keutamaan Memakai Sorban Ketika Sholat
Memakai sorban adalah sunnah dan ciri khas kaum muslimin, baik dalam sholat maupun di luar sholat, sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits. Namun, tak ada satu hadits pun yang menjelaskan keutamaan tertentu memakai sorban saat sholat, kecuali haditsnya lemah atau palsu, seperti hadits berikut:
رَكْعَتَانِِ بِعِمَامَةٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بَلَا عِمَامَةٍ
Sholat dua raka’at dengan memakai sorban lebih baik dibandingkan sholat 70 raka’at, tanpa sorban“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus sebagaimana yang disebutkan oleh As-Suyuthiy dalam Al-Jami’ Ash-Shoghir ()] 
Hadits ini maudhu’ (palsu), sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (128), “Hadits ini palsu”. Selanjutnya, beliau juga komentari ulang hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (5699). 
Sujud Menyentuh Tanah
Seorang ketika sujud dalam sholat, boleh ia memakai alas. Menyentuhkan telapak tangan, dahi, dan anggota sujud lainnya ke tanah, ini tak ada keutamaan tertentu baginya. Adapun hadits berikut:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيُبَاشِرْ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ عَسَى اللهُ أَنْ يَفُكَّ عَنْهُ الْغُلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Jika seorang diantara kalian bersujud, maka hendaknya ia menyentuhkan kedua telapak tangannya ke tanah, semoga Allah melepaskan belenggu darinya pada hari kiamat“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (6/58), cet. Dar Al-Haromain] 
Hadits ini adalah dho’if (lemah), tak bisa dijadikan hujjah, karena di dalamnya ada rowi bermasalah: Ubaid bin Muhammad, seorang rowi yang memiliki hadits-hadits munkar [Lihat Al-Majma’ (2/311/no.2764)].Sebab inilah, Syaikh Al-Albaniy menggolongkan hadits ini lemah dalam Adh-Dho’ifah (2624) 
Jangan Shalat, Jangan Bicara
Jika khatib telah berada di atas mimbar dan muadzin berkumandang, maka seorang yang melaksanakan shalat tahiyyatul masjid atau shalat sunat muthlaq, ia terus dalam shalatnya, tanpa harus membatalkan shalatnya berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Bahkan ia boleh berbicara dengan temannya dalam kondisi itu, jika ada hajat mendesak. Adapun hadits di bawah ini yang menjelaskan tentang tidak bolehnya shalat dan bicara dalam kondisi tersebut maka hadits ini batil. Berikut perinciannya:
إِذَا صَعِدَ الْخَطِيْبُ الْمِنْبَرَ ؛ فَلاَ صَلَاةَ وَلَا كَلاَمَ
Apabila khatib sudah naik mimbar, maka tidak ada lagi shalat dan tidak ada lagi ucapan.”
Hadits ini batil karena tidak ada asalnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (87). Namun perlu diketahui bahwa jika adzan sudah selesai ketika khatib berada di atas mimbar siap untuk berkhutbah, maka seorang tidak boleh lagi berbicara dan melakukan aktifitas apapun selain shalat tahiyatul masjid agar seluruh jama’ah memfokuskan diri untuk mendengarkan khutbah. 
Berdzikir dengan Tasbih
Sebaik-baik pengingat adalah alat tasbih. Sesungguhnya sesuatu yang paling afdhol untuk ditempati bersujud adalah tanah dan sesuatu yang ditumbuhkan oleh tanah“. [HR.Ad-Dailamiy (4/98- sebagaimana dalam Mukhtashar-nya)]
Berdzikir adalah ibadah yang harus didasari dengan keikhlasan dan mutaba’ah (keteladanan) kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . karenanya seorang tidak dianjurkan menggunakan alat tasbih ketika ia berdzikir sebab tidak ada contohnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdzikir dengannya, tapi beliau hanya berdzikir dengan jari-jemarinya. Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits palsu, tidak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan sunnahnya berdzikir dengan alat tasbih
نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السُّبْحَةُ وَإِنَّ
أَفْضَلَ مَا يُسْجَدُ عَلَيْهِ الْأَرْضُ وَمَا أَنْبَتَتْهُ الْأَرْضُ
Sebaik-baik pengingat adalah alat tasbih. Sesungguhnya sesuatu yang paling afdhol untuk ditempati bersujud adalah tanah dan sesuatu yang ditumbuhkan oleh tanah“. [HR.Ad-Dailamiy (4/98- sebagaimana dalam Mukhtashar-nya)]
Hadits ini adalah hadits yang palsu sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (83), karena adanya rawi-rawi yang majhul. Selain itu hadits ini secara makna adalah batil, sebab tasbih tidak ada di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. 
Menuntut Ilmu di Masa Muda
Keutamaan menuntut ilmu sangat banyak disebutkan dalam ayat-ayat maupun hadits-hadits shahih. Bahkan sampai di dalam hadits yang dho’if dan palsu, seperti berikut,
أَيُّمَا نَاشِئٍ نَشَأَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ وَالْعِبَادَةِ حَتَّى يَكْبُرَ وَهُوَ عَلَى ذَلِكَ أَعْطَاهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوَابَ اثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ صِدِّيْقًا
Anak muda mana pun yang tumbuh dalam menuntut ilmu, dan ibadah sampai ia menjadi tua, sedangkan dia masih tetap di atas hal itu, maka Allah akan memberikannya pada hari kiamat pahala 72 orang shiddiqin“. [HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawaid (2428), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Al-Ilm (1/82)].
Namun hadits ini derajatnya adalah dho’if jiddan (lemah sekali), bahkan boleh jadi hadits ini palsu, karena di dalamnya ada rawi yang bernama Yusuf bin Athiyyah. Dia adalah seorang yang mungkarul hadits. Bahkan An-Nasa’iy menilainya matruk (ditinggalkan karena biasa berdusta atas nama manusia). Karenanya Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini dho’if jiddan dalam Adh-Dho’ifah (700). 
Bersedihlah Ketika Membaca Al-Qur’an!
Ketika membaca Al-Qur’an memang kita dianjurkan untuk bersedih sebagai hasil renungan dan tadabbur makna-makna ayat sebagaimana yang dijelaskan dalam sunnah. Adapun hadits di bawah ini, sekalipun sebagian maknanya benar, namun ia bukan hujjah dalam hal ini, karena kelemahan hadits ini. Nash haditsnya:
اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ بِحُزْنٍ فَإِنَّهُ نَزَلَ بِالْحُزْنِ
Bacalah Al-Qur’an dengan perasaan sedih, karena dia turun dengan kesedihan“. [HR. Al-Khollal dalam Al-Amr Bil Ma’ruf (20/2) dan Abu Sa’id Al-A’robiy dalam Mu’jam-nya (124/1)].
Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Uwain bin Amr Al-Qoisiy, dia adalah seorang yang mungkarul hadits lagi majhul menurut Al-Bukhariy. Selain itu juga ada rawi yang bernama Ismail bin Saif, dia adalah seorang yang biasa mencuri hadits, dan meriwatkan hadits yang lemah dari orang-orang yang tsiqoh. Tak heran jika Al-Albaniy menyatakan hadits ini dho’if jiddan (lemah sekali) dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2523). 
Kekasih Allah
Orang yang bertaubat dari dosa-dosanya adalah orang yang terpuji di sisi Allah berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun hadits berikut ini, maka dia adalah hadits yang palsu, tidak ada asalnya:
التَّائِبُ حَبِيْبُ اللهِ
Orang yang bertaubat adalah kekasih Allah.”
Hadits ini adalah hadits yang bukan berasal dari nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . tak ada seorang imam ahlul hadits yang meriwayatkan hadits ini dalam kitab-kitab mereka. Hadits ini hanyalah disebutkan oleh Al-Ghazaliy dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin (4/434) dengan menyandarkannya kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , padahal hadits ini adalah hadits palsu, tidak ada asalnya! Lihat penjelasan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (95) karya Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy 
Ikhlas 40 Hari
Ikhlash adalah sifat orang mukmin. Keutamaan ikhlash telah dimaklumi baik dalam hadits yang shohih, maupun hadits yang lemah. Namun kita tak butuh kepada hadits dho’if seperti di bawah ini, karena itu bukan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
من أخلص لله أريعين يوما ظهرت ينابيع الحكمة على لسانه
Barang siapa yang ikhlash karena Allah selama 40 hari, niscaya akan muncul mata air hikmah pada lisannya“. [HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/189)] 
Hadits ini dho’if (lemah), karena terdapat inqitho’ (keterputusan) antara Makhul dengan Abu Ayyub Al-Anshoriy. Selain itu, Hajjaj bin Arthoh, rawi dari Makhul adalah seorang mudallis, dan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah. Sedang seorang mudallis jika meriwayatkan hadits secara mu’an’anah (dengan memakai kata “dari”), maka haditsnya dho’if (lemah). Tak heran jika Syaikh Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dho’ifah (38) 
Dunia dan Hakikatnya
Banyak sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Ada yang keliru maknanya, dan ada yang bagus maknanya, seperti hadits ini:
أََََوْحَى اللهُ إِلَى الدُّنْيَا أَنِ اخْدِمِيْ مَنْ خَدَمَنِيْ وَأَتْعِبِيْ مَنْ خَدَمَكِ
Allah wahyukan kepada dunia, “Layanilah orang yang melayani-Ku, dan capekkanlah orang yang melayanimu“. [HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (8/44), dan Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits (hal.101)]
Hadits ini palsu, karena Al-Husain bin DawudAl-Balkhiy yang banyak meriwayatkan naskah hadits palsu dari Yazid bin Harun. Karena itu, Al-Albaniy menyebutkan hadits ini dalam deretan hadits-hadits palsu dalam Adh-Dho’ifah
Hak Anak atas Orang Tua
Seyogyanya orang tua memilihkan nama yang baik untuk anaknya, dan mendidik akhlaknya sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi -Shollallahu‘alaihi wasallam- danpara sahabatnya. Adapun hadits yang berbunyi :
حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ أَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهَ وَيُحَسِّنَ أَدَبَهُ
Hak seorang anak atas orang tuanya, orang tua memperbaiki nama anaknya, dan akhlaknya“. [HR. Abu Muhammad As-Siroj Al-Qoriy dalam Al-Fawaid (5/32/1-kumpulan 98), dan lainnya].
Maka hadits ini palsu, karena ada dua orang rawi : Muhammad Al-Fadhl adalah seorang pendusta, dan Muhammad bin Isa adalah orangnya matruk (ditinggalkan). Karenanya Al-Albaniy mencantumkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (199) 
Jum’at Hajinya Orang Fakir
Ibadah haji adalah ibadah yang dicita-citakan oleh setiap orang sehingga setiap orang berusaha mengumpulkan harta demi ibadah itu. Namun sebagian diantara manusia ada yang tidak sempat melaksanakannya sehingga ia bersedih. Tapi kesedihan itu hilang karena ia mendengarkan sebuah hadits berikut :
الدَّجَاجُ غَنَمُ فٌقَرَاءِ أُمَّتِيْ وَاْلجُمُعَةُ حَجُّ فُقَرَائِهَا
Ayam adalah kambingnya orang fakir dari kalangan umatku, dan shalat jum’at hajinya orang fakir mereka” .[HR. Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin (3/90)]
Tapi ternyata sayangnya hadits ini palsu sehingga seorang muslim tidak boleh meyakini dan mengamalkannya. Dia palsu karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Zaid An-Naisaburiy. Dia adalah seorang pendusta yang suka memalsukan hadits. Lihat Adh-Dho’ifah (192) 
Nabi Ilyas dan Khidir Bersaudara Kandung
Ketika seseorang membaca kisah para nabi di luar Al-Qur’an, maka seorang harus berhati-hati, karena di sana banyak hadits-hadits yang lemah, bahkan palsu yang berbicara tentang kehidupan para nabi. Oleh karena itu seorang harus yakin betul bahwa hadits ini shahih berdasarkan keterangan para ulama, baru setelah itu dia yakini. Diantara hadits lemah yang menyebutkan kisah para nabi, hadits berikut ini:
إِلْيَاسُ وَالخَضِرُ أَخَوَانِ أَبُوْهُمَا مِنَ الفُرْسِ وَأُمُّهُمَا مِنَ الرُّوْمَ
Nabi Ilyas dan Khidir adalah dua orang bersaudara. Bapak mereka dari Persia, dan ibunya dari Romawi“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/124)] 
Hadits ini palsu, karena ada dua orang rawi bermasalah dalam memalsukan hadits, yaitu Ahmad bin Ghalib, dan Abdur Rahman bin Muhammad Al-Yahmadiy. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dho’ifah (2257). 
Penduduk Surga
Banyak sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Terkadang maknanya lurus, namun terkadang juga menggelitik orang seperti hadits palsu berikut:
أَهْلُ الْجَنَّةِ جَرَدٌ إِلَّا مُوْسَى بْنَ عِمْرَانَ فَإِنَّ لَهُ لِحْيَةً إِلَى سُرَّتِهِ
Penduduk surga adalah belalang, kecuali Musa bin Imron, karena dia memiliki jenggot sampai ke pusarnya“.[HR.Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afaa’ (185), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (4/48), dan Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (6/111/1)]. 
Hadits ini adalah hadits batil yang palsu. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Syaikhnya Ibnu Abi Kholid Al-Bashriy. Maka tak heran apabila syaikh Al-Albaniy mencantumkan hadits ini dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (704). 
Amalan Sedikit, tapi Bermanfaat
Bermalas malasan dalam beribadah sudah menjadi kebiasaan sebagian kaum muslimin. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut diantaranya rasa takutnya kepada Allah masih kurang, keimanan terhadap Hari Pembalasan masih minim, dan ada juga yang malas karena mungkin beramal dengan hadits di bawah ini.
قَلِيْلُ العَمَلِ ينَْفَعُ مَعَ العِلْمِ، وَكَثيِْرُ العَمَلِ لَايَنْفَعُ مَعَ الجَهْلِ
Amalan yang sedikit akan bermanfaat, jika disertai oleh ilmu; dan amalan yang banyak tidak akan bermanfaat, jika disertai kejahilan“. [HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-’Ilm wa Fadhlih (1/145)] 
Hadits ini dhoif, bahkan palsu, disebabkan adanya 3 rawi: [1] Muhammad bin Rauh bin ‘Imran Al-Qutairiy (orangnya lemah), [2] Mu’ammal bin Abdur Rahman Ats-Tsaqofiy (orang dho’if). Ibnu Adi berkata,”Dominan haditsnya tidak terpelihara”; [3] Abbad bin Abdush Shomad. Ibnu Hibban berkata, “…Abbad bin Abdush Shomad menceritakan kami dari Anas tentang suatu naskah hadits, seluruhnya maudhu’ (palsu)”.Al-Albaniy berkata, “Hadits ini Palsu” [lihat Adh-Dho’ifah (369)] 
Kencing di Lubang
Kencing di lubang adalah perkara yang boleh, kecuali jika di dalamnya ada makhluk seperti semut, maka hendaknya kita jangan kencing di tempat itu demi menyayangi makhluk Allah yang kecil ini. Adapun hadits yang berikut, maka haditsnya dho’if:
Abdullah bin Sarjis -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِيْ الْجُحْرِ
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang kencing di lubang“. [HR. Abu Dawud (29), dan An-Nasa’iy (34)].
Hadits ini adalah hadits yang lemah, karena adanya keterputusan antara Qotadah dan Abdullah bin Sarjis -radhiyallahu ‘anhu- . selain itu, Qotadah juga adalah seorang yang mudallis. Tak heran jika Syaikh Al-Albaniy men-dho’ifkan hadits ini dalam Al-Irwa’ (55) 
Solusi Terakhir ….
Talaq adalah solusi terakhir ketika terjadi cekcok yang parah antara suami-istri setelah melalui proses yang panjang berupa nasihat, dan usaha perbaikan lainnya. Jadi talaq adalah perkara yang halal yang tidak dibenci oleh Allah, jika dilakukan pada tempatnya. Adapun hadits yang menjelaskan bahwa talaq adalah perkara yang dibenci dalam segala hal, maka haditsnya dho’if sebagaimana perinciannya berikut ini:
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ الطَّلَاقُ
Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah -Azza wa Jalla- adalah talaq“. [HR. Abu Dawud (2178) dan Ibnu Majah (2018)]
Hadits ini adalah hadits yang mudhtharib (goncang) sanadnya sebagaimana yang anda bisa lihat penjelasannya dalam Al-Irwa’ (2040) karya Syaikh Al-Albaniy. 
Do’a Keluar WC
Ada sebuah hadits yang menyebutkan do’a keluar WC. Do’a ini banyak disebarkan dan dimasyurkan di TPA dan TQA. Ternyata haditsnya lemah sebagaimana dalam penjelasan berikut ini:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنِّيَ الْأَذَى وَعَافَانِيْ
Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dariku gangguan (kotoran) ini, dan telah menyehatkan aku”. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (301)] 
Hadits ini adalah hadits yang dho’if, karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ismail bin Muslim Al-Makkiy. Dia adalah seorang yang lemah haditsnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib. Hadits ini memiliki syahid dari riwayat Ibnu Sunniy dalam Amal Al-Yaum wal Lailah (29). Namun hadits ini juga lemah, karena ada seorang yang majhul dalam sanadnya, yaitu Al-Faidh. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (53). 
Ketentuan dan Taqdir Allah
Ketentuan dan taqdir Allah adalah perkara ghaib yang tidak boleh ditetapkan dengan hadits lemah, apalagi palsu, seperti hadits ini:
إِذَا أَرَادَ اللهُ إِنْفَاذَ قَضَائِهِ وَقَدَرِهِ ؛ سَلَبَ ذَوَيْ الْعُقُوْلِ عُقُوْلَهُمْ حَتَّى يُنْفِذَ فِيْهِمْ قَضَاءَهُ وَقَدَرَهُ
Apabila Allah ingin melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya, maka Allah akan menarik (menghilangkan) akalnya orang-orang yang memiliki pikiran sehingga Allah melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya pada mereka“. [HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (14/99), Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/100), dari jalur Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbihan (2/332)] 
Hadits ini lemah, bahkan boleh jadi palsu , karena rowi yang bernama Lahiq bin Al-Husain. Sebagian ahlul hadits menuduhnya pendusta, dan suka memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy memasukkannya dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2215) 
Taubat yang Benar
Seorang ketika telah bertaubat dari suatu dosa, hendaknya ia berusaha dengan sekuat tenaga meninggalkan dosa itu sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’ kita. Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits dho’if (lemah):
التَّوْبَةُ مِنَ الذَّنْبِ أَنْ لَا تَعُوْدَ إِلَيْهِ أَبَدًا
Taubat dari dosa, engkau tidak kembali kepadanya selama-lamanya“. [HR. Abul Qosim Al-Hurfiy dalam Asyr Majalis min Al-Amali (230), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (7036)]
Hadits ini lemah , karena dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Ibrahim bin Muslim Al-Hijriy; dia adalah seorang yang layyinul hadits (lembek haditsnya). Selain itu, juga ada Bakr bin Khunais, seorang yang shoduq (jujur), tapi memiliki beberapa kesalahan. Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dho’ifah (2233)
Adam Turun di India
Dalam kisah-kisah para naib dan rasul, disebutkan kisah masyhur bahwa Adam turun di negeri India, berdasarkan hadits yang lemah berikut ini,
نَزَلَ آدَمُ بِالْهِنْدِ وَاسْتَوْحَشَ فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ فَنَادَى بِالْأَذَانِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مَرَّتَيْنِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ مَرَّتَيْنِ قَالَ آدَمُ مَنْ مُحَمَّدٌ قَالَ آخِرُ وَلَدِكَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ
Nabi Adam turun di India, dan beliau merasa asing. Maka turunlah Jibril seraya mengumandangkan adzan, “Allahu Akbar, Asyhadu Alla Ilaha illallah (dua kali), asyhadu anna Muhammdan rasulullah (dua kali). Adam bertanya, “Siapakah Muhammad itu?” Jibril menjawab, “Cucumu yang paling terakhir dari kalangan nabi“.”. [HR.Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (2/323/2)] 
Hadits ini dho’if (lemah), atau palsu, karena ada seorang rawi dalam sanadnya yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Sulaiman. Orang yang bernama seperti ini ada dua; yang pertama dipanggil Al-Kufiy, orangnya majhul (tidak dikenal), sedang orang yang seperti ini haditsnya lemah. Yang satunya lagi, dikenal dengan Al-Khurasaniy. Orang ini tertuduh dusta. Jika dia yang terdapat dalam sanad ini, maka hadits ini palsu. Hadits ini di-dho’if-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (403). 
Bagi-bagi Kejelekan
Mengangkat dan merendahkan derajat suatu bangsa harus didasari oleh dalil dari Al-Qur’an dan sunnah. Adapun hadits di bawah, maka tidak boleh dijadikan dalil dalam merendahkan suku Barbar, karena kelemahan hadits ini:
الْخُبْثُ سَبْعُوْنَ جُزْءًا فَجُزْءٌُ فِيْ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَتِسْعٌ وَسِتُّوْنَ فِيْ الْبَرْبَرِ
Kejelekan ada 70 bagian; satu bagian pada jin dan manusia, dan 69 bagian pada orang-orang Barbar” . [HR. Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/489), Ath-Thobraniy dalam Al-Ausath (8672), dan Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah].
Mengangkat dan merendahkan derajat suatu bangsa harus didasari oleh dalil dari Al-Qur’an dan
Hadits ini adalah hadits yang lemah menurut penilaian Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam As-SilsilahAdh-Dho’ifah (2535), karena dalam hadits ini terdapat dua penyakit: Inqitho’ (keterputusan) antara Yazid bin Abi Habib dengan Abu Qois, dan terjadinya idhthirob (kesimpangsiuran) dari sisi sanad akibat kelemahan seorang rawi yang bernama Abu Sholih (dikenal dengan Katib Al-Laits).
Kisah Nabi Idris bersama Malaikat Maut
Disana ada sebuah kisah palsu yang dinisbahkan secara dusta kepada Nabi Idris -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Saking masyhurnya kisah ini, banyak penulis, dan majalah yang menukilnya, seperti kami pernah temukan dalam Majalah “Anak Shaleh”. Bunyi hadits itu:
إِنَّ إِدْرِيْسَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ صَدِيْقًا لِمَلَكِ الْمَوْتِ. فَسَأَلَهُ أَن يُرِيَهُ الْجَنَّةَ وَ النَّارَ, فَصَعَدَ إِدْرِيْسُ فَأَرَاهُ النَّارَ فَفَزِعَ مِنْهَا وَكَادَ يُغْشَى عَلَيْهِ, فَالْتَفَّ عَلَيْهِ مَلَكُ الْمَوْتِ بِجَنَاحِهِ, فَقَالَ مَلَكُ الْمَوْتِ: أَلَيْسَ قَدْ رَأَيْتَهَا؟ قَالَ: بَلىَ, وَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ قَطُّ. ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِ حَتَّى أَرَاهُ الْجَنَّةَ, فَدَخَلَهَا, فَقَالَ مَلَكُ الْمَوْتِ: انْطَلِقْ قَدْ رَأَيْتَهَا. قَالَ إِلَى أَيْنَ؟ قَالَ مَلَكُ الْمَوْتِ: حَيْثُ كُنْتَ. قَالَ إِدْرِيْسُ: لَا وَاللهِ ! لَا أَخْرُجُ مِنْهَا بَعْدَ أَنْ دَخَلْتُهَا. فَقِيْلَ لِمَلَكِ الْمَوْتِ: أَلَيْسَ أَنْتَ قَدْ أَدْخَلْتَهُ إِيَّاهَا؟ وَإِنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ دَخَلَهَا أَنْ يَخْرُجَ مِنْهَا
Sesungguhnya Nabi Idris -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu berteman dengan Malaikat Maut. Lalu ia pun meminta kepadanya agar diperlihatkan surga dan neraka. Maka idris pun naik (ke langit), lalu Malaikat Maut memperlihatkan neraka kepadanya. Lalu Idris kaget sehingga hampir pinsang. Maka Malaikat Maut mengelilingkan sayapnya pada Idris seraya berkata, “Bukankah engkau telah melihatnya?” Idris berkata, “Ya, sama sekali aku belum pernah melihatnya seperti hari ini”. Kemudian, Malaikat Maut membawanya sampai ia memperlihatkan surga kepada Nabi Idris seraya masuk ke dalamnya. Malaikat Maut berkata, “Pergilah, sesungguhnya engkau telah melihatnya”. “Kemana?”, tanya Idris. “Ke tempatmu semula”, jawab Malaikat Maut. “Tidak ! Demi Allah, aku tak akan keluar setelah aku memasukinya”, tukas Idris. Lalu dikatakanlah kepada Malaikat Maut, “Bukankah engkau yang telah memasukkannya? Sesungguhnya seorang yang telah memasukinya tidak boleh keluar darinya“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (2/177/1/7406)] 
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh dusta, yaitu Ibrahim bin Abdullah bin Khalid Al-Mishshishiy. Sebab itu, hadits ini dicantumkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam kumpulan hadits-hadits palsu di dalam kitabnyaAdh-Dho’ifah (339).
Empat Berkah dari Langit
Diantara hadits palsu yang beredar di masyarakat adalah berikut ini. Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ أَرْبَعَ بَرَكَاتٍ مِنَ السَمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ فَأَنْزَلَ الْحَدِيْدَ وَالنَّارَ وَالْمَاءَ وَالْمِلْحَ
Sesungguhnya Allah telah menurunkan empat berkah dari langit ke bumi; maka Allah menurunkan besi, api, air, dan garam“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/221)]
Hadits ini palsu , tak benar datangnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Dalam sanadnya terdapat Saif bin Muhammad, seorang pendusta !! Karenanya, Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy -rahimahullah- menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dho’ifah (3053).
Fadhilah Mendatangi Sholat Jama’ah
Fadhilah sholat berjama’ah banyak disebutkan dalam hadits-hadits shohih. Adapun hadits berikut adalah hadits lemah, tak boleh diamalkan, dan diyakini sebagai sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-:
اَلْمَشَّاؤُوْنَ إِلَى الْمَسَاجِدِ فِي الظُّلَمِ أُوْلَئِكَ الْخَوَّاضُوْنَ فِيْ رَحْمَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Orang yang sering berjalan menuju masjid dalam kondisi gelap, mereka itu adalah orang yang berada dalam rahmat Allah –Azza wa Jalla-”. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (779), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (1/281), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (17/456) & (52/18)]
Hadits ini adalah dho’if (lemah), karena ada dua rowi yang bermasalah dalam sanadnya: Muhammad bin Rofi’, dan Isma’il bin Iyasy. Walau Isma’il tsiqoh, namun jika ia meriwayatkan hadits dari selain orang-orang Syam, maka haditsnya lemah!! Hadits ini ia riwayatkan dari Muhammad bin Rofi’, seorang penduduk Madinah. Ke-dho’if-an hadits ini telah ditegaskan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Adh-Dho’ifah (3059)
Padamkan Neraka dengan Sholat
Jika kita mau mengoleksi hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan sholat, maka terlalu banyak. Namun disini kami mau ingatkan bahwa ada hadits lemah dalam hal ini, yaitu hadits yang berbunyi:
إِنَّ لِلّهِ تَعَالَى مَلَكًا يُنَادِيْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ : يَا بَنِيْ آدَمَ قُوْمُوْا إِلَى نِيْرَانِكُمْ الَّتِيْ أَوْقَدْتُمُوْهَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَأَطْفِئُوْهَا بِالصَّلاَةِ
Sesungguhnya Allah -Ta’ala- memiliki seorang malaikat yang memanggil setiap kali sholat, “Wahai anak Adam, bangkitlah menuju api (neraka) kalian yang telah kalian nyalakan bagi diri kalian, maka padamkanlah api itu dengan sholat“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (9452) dan Ash-Shoghir (1135), Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (3/42-43), dan lainnya]
Hadits ini lemah , karena ada seorang rawi bernama Yahya bin Zuhair Al-Qurosyiy. Dia adalah seorang majhul (tak dikenal). Olehnya, Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- melemahkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (3057)
Orang Baik dibutuhkan Orang
Di antara hadits palsu yang biasa diucapkan oleh sebagian da’i-da’i adalah hadits berikut:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا ؛ صَيَّرَ حَوَائِجَ النَّاسِ إِلَيْهِ
Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Allah akan menjadikan kebutuhan-kebutuhan manusia kepadanya“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/95)]
Hadits ini palsu disebabkan oleh adanya rowi dalam sanadnya yang bernama Yahya bin Syabib; dia seorang pemalsu hadits. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy meletakkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2224)
Manusia yang Terburuk Kedudukannya
Banyak sekali hadits-hadits lemah yang tersebar di kalangan kaum muslimin, namun mereka tak sadar bahwa itu bukanlah sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, seperti hadits:
إِنَّ مِنْ أَسْوَأِ النَّاسِ مَنْزِلَةً مَنْ أَذْهَبَ آخِرَتَهُ بِدُنْيَا غَيْرِهِ
“Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya, orang yang menghilangkan (menghancurkan) akhiratnya dengan dunia orang lain“. [HR. Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2398), dan Al-Baihaqiy dalam Syu'abul Iman (6938)]
Hadits ini adalah hadits dho’if (lemah), karena rowi yang bernama Syahr bin Hausyab, seorang jelek hafalannya dan banyak me-mursal-kan hadits, dan Al-Hakam bin Dzakwan, seorang yang maqbul. Intinya, hadits ini lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (2229)
Ketentuan dan Taqdir Allah
Ketentuan dan taqdir Allah adalah perkara ghaib yang tidak boleh ditetapkan dengan hadits lemah, apalagi palsu, seperti hadits ini:
إِذَا أَرَادَ اللهُ إِنْفَاذَ قَضَائِهِ وَقَدَرِهِ ؛ سَلَبَ ذَوَيْ الْعُقُوْلِ عُقُوْلَهُمْ حَتَّى يُنْفِذَ فِيْهِمْ قَضَاءَهُ وَقَدَرَهُ
Apabila Allah ingin melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya, maka Allah akan menarik (menghilangkan) akalnya orang-orang yang memiliki pikiran sehingga Allah melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya pada mereka“. [HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (14/99), Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/100), dari jalur Abu Nu'aim dalam Tarikh Ashbihan (2/332)]
Hadits ini lemah, bahkan boleh jadi palsu , karena rowi yang bernama Lahiq bin Al-Husain. Sebagian ahlul hadits menuduhnya pendusta, dan suka memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy memasukkannya dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2215)
Bertaqwa di Masa Tua
Bertaqwa kepada Allah bukan hanya di masa tua, bahkan juga harus di masa muda. Namun tentunya ketaqwaan lebih ditingkatkan lagi di masa tua berdasarkan hadits-hadits shohih !! Bukan berdasarkan hadits palsu ini:
إِذَا أَتَى عَلَى الْعَبْدِ أَرْبَعُوْنَ سَنَةً يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَخَافَ اللهَ تَعَالَى وَيَحْذَرَهُ
Jika telah datang (lewat) 40 tahun pada diri seorang hamba, maka wajib baginya untuk takut dan khawatir kepada Allah -Ta’ala- “. [HR. Ad-Dailamiy dalam Al-Firdaus (1/89)]
Hadits ini palsu, karena ada rowi dalam sanadnya yang bernama Ahmad bin Nashr bin Abdillah yang dikenal dengan Adz-Dari’. Dia adalah seorang pemalsu hadits, pendusta, dan dajjal. Karenanya, Al-Albaniy Al-Atsariy menyatakannya palsu dalam Adh-Dho’ifah (2200)
Memulai dengan Hamdalah
Ada sebuah hadits yang masyhur dalam kitab-kitab dan lisan manusia yang menjelaskan harusnya seseorang memulai segala urusan yang penting dengan membaca Alhamdulillah. Tapi hadits ini lemah sebagaimana berikut ini perinciannya:
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدِ فَهُوَ أَقْطَعُ
Segala urusan penting yang tidak dimulai di dalamnya dengan alhamdulillah, maka urusan itu akan terputus“. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1894)]
Hadits ini lemah, karena ke-mursal-an yang terjadi pada sanadnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (2/677), dan Syaikh Al-Albaniy. Karenanya, Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam Al-Irwa’ (2).
Tanda Tawadhu’
Tawadhu’ adalah perkara yang dianjurkan karena dia adalah akhlak yang mulia. Saking mulianya sampai dalam hadits yang palsu pun disebutkan kemuliannya, seperti hadits berikut:
مِنَ التَّوَاضُعِ أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ مِنْ سُؤْرِ أَخِيْهِ وَمَنْ شَرِبَ مِنْ سُؤْرِ أَخِيْهِ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى رُفِعَتْ لَهُ سَبْعُوْنَ دَرَجَةً وَمُحِيَتْ عَنْهُ سَبْعُوْنَ خَطِيْئَةً وَكُتِبَ لَهُ سَبْعُوْنَ دَرَجَةً
Di antara bentuk ketawadhu’an, seorang mau meminum sisa minuman saudaranya. Barangsiapa yang meminum sisa minum saudaranya, karena mencari wajah Allah -Ta’ala-, maka akan diangkat derajatnya sebanyak 70 derajat, dan akan dihapuskan 70 kesalahan darinya, serta dituliskan baginya 70 derajat.” [HR.Ad-Dauqutniy sebagaimana dalam Al-Maudhu'at (3/40) karya Ibnul Juaziy]
hadits ini adalah hadits yang palsu karena ada seorang rawi yang bernama Nuh bin Abi Maryam, dia adalah seorang yang tertuduh dusta. Selain itu hadits ini semakin lemah karena Ibnu Juraij (seorang rawi dalam hadits ini) adalah seorang yang mudallis, sedangkan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah (menggunakan lafadz dari). Demikia penjelasan Syaikh Al-Albaniy secara ringkas dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (79).
Orang-Orang yang Beruntung
Orang-orang yang beruntung banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan sunnah yang shahihah. Bahkan dalam hadits yang dho’if pun, seperti hadits berikut:
أَفْلَحَ مَنْ كَانَ سُكُوْتُهُ تَفَكُّرًا وَنَظَرُهُ اِعْتِبَارًا أَفْلَحَ مَنْ وَجَدَ فِيْ صَحِيْفَتِهِ اِسْتِغْفَارًا كَثِيْرًا
Beruntunglah orang yang diamnya adalah tafakkur, pandangannya adalah ibroh, beruntunglah orang yang mendapatkan istighfar yang banyak dalam catatan amalannya” . [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/123)].
Hadits ini adalah dho’if, karena dalam sanadnya terdapat dua orang yang majhul (tidak dikenal), yaitu Abul Khushaib Ziyad bin Abdurrahman, dan Husain bin Mansur Al-Asadiy Al-Kufiy dan juga seorang yang lemah (Hibban ibnu Ali Al-Anaziy). Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini dho’if (lemah) dalam Adh-Dho’ifah (2519).
Makanan Dunia dan Akhirat
Banyak sekali hadits dho’if yang tersebar di masyarakat. Utamanya hadits-hadits yang berkaitan dengan janji-janji dan keutamaan, seperti hadits ini:
أَفْضَلُ طَعَامِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اللَّحْمُ
Seutama-utamanya makanan dunia dan akhirat adalah daging” . [HR. Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu'afa' (1264)].
Hadits ini dihukumi dho’if jiddan oleh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Adh-Dho’ifah (2518), karena ada seorang rawi yang bernama Amr bin Bakr As-Saksakiy. Hadits-haditsnya menyerupai hadits palsu. Sebab itu Al-Hafizh menggelarinya dengan matruk (ditinggalkan karena biasa berdusta atas nama manusia). Selain itu, anaknya (Ibrahim bin Amr As-Saksakiy) yang meriwayatkan darinya senasib dengan ayahnya.
Berdzikir Setiap Saat
Berdzikir setiap saat merupakan perkara yang dianjurkan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits-hadits shohih, bahkan dalam hadits-hadits dho’if , seperti hadits ini:
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ اللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ فَإِنَّهُ لَيْسَ عَمَلٌ أَحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالىَ وَلَا أَنْجَى لِعَبْدٍ مِنْ كُلِّ سَيِّئَةٍ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى
Perbanyaklah dzikir kepada Allah dalam segala kondisi, karena tak ada suatu amalan yang lebih dicintai oleh Allah -Ta’ala- , dan lebih menyelamatkan seorang hamba dari segala kejelekan di dunia, dan akhirat dibandingkan dzikir kepada Allah“. [HR. Adh-Dhiya' Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtaroh (7/112/1)]
Hadits ini palsu, karena Abu Abdir Rahman Asy-Syamiy. Dia adalah seorang pendusta seperti yang dinyatakan oleh Al-Azdiy -rahimahullah-. Ada penguat bagi hadits ini dari riwayat Al-Baihaqiy , oh sayang hadits ini juga palsu, karena ada rowinya bernama Marwan bin Salim Al-Ghifariy Al-Jazariy; dia adalah pendusta. Lihat rincian palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2617)
Hati-hati dengan Dunia
Seorang manusia di dunia ibaratnya seorang musafir; ia singgah mengambil bekal menuju akhirat berupa amal sholih. Namun dunia terkadang memperdaya kebanyakan manusia :
إحذروا الدنيا فإنها أسحر من هاروت وماروت
Waspadalah terhadap dunia, karena ia lebih memperdaya dibandingkan Harut dan Marut“.
Namun sayang hadits ini adalah palsu, tak ada asalnya. Hadits ini disebutkan oleh Al-Ghozaliy dalam Ihya’ Ulumuddin, padahal ia palsu !! Al-Iroqiy dalam Takhrij Al-Ihya’ (3/177) menukil dari Adz-Dzahabiy bahwa hadits ini mungkar, tak ada asalnya. Sebab itu, Al-Albaniy menempatkannya dalam Adh-Dho’ifah (34) sebagai tempat bagi hadits palsu dan dho’if.
Siapa yang Adzan, itu yang Iqamat
Barangsiapa yang adzan, maka dialah yang iqamat”. [HR. Abud Dawud (514), At-Tirmidziy (199), dan lainnya]
Hadits ini lemah karena berasal dari Abdurrahman bin Ziyad Al-Afriqiy. Dia lemah hafalannya. Sebab itu Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dha’ifah (no. 35) dan Al-Irwa’ (237).
Syaikh Al-Albaniy berkata dalam Adh-Dha’ifah (1/110), “Di antara dampak negatif hadits ini, dia merupakan sebab timbul perselisihan di antara orang-orang yang mau shalat, sebagaimana hal itu sering terjadi. Yaitu ketika tukang adzan terlambat masuk mesjid karena ada udzur, sebagian orang yang hadir ingin meng-iqamati shalat, maka tak ada seorang pun di antara mereka kecuali ia menghalanginya seraya berhujjah dengan hadits ini. Orang miskin ini tidaklah tahu kalau haditsnya lemah, tidak boleh mengasalkannya kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, terlebih lagi melarang orang bersegera menuju ketaatan kepada Allah, yaitu meng-iqamati shalat”.
Barang Siapa yang tidak Mengenal Imamnya…
Ketaatan kepada penguasa merupakan perkara asasi di kalangan Ahlus Sunnah. Sebaliknya, mendurhakai mereka merupakan perkara yang diharamkan, apalagi jika sampai menghina, merendahkan mereka, dan mencabut tangan darinya, karena hal ini akan menimbulkan kerusakan di kalangan hamba-hamba Allah.
Banyak sekali dalil-dalil baik dalam Al-Kitab, maupun sunnah yang memerintahkan kita untuk taat kepada pemerintah muslim, dan mengharamkan durhaka kepada mereka.
Namun ada satu hal yang kami perlu ingatkan disini bahwa disana ada sebuah hadits yang dho’if dalam masalah ini,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ إِمَامَ زَمَانِـهِ مَاتَ مِيـْتَةً جَاهِلِيَّةً.
Barangsiapa yang tidak mengenal imam (penguasa) di zamannya, maka ia mati seperti matinya orang-orang jahiliyah”.
Ahmad bin Abdul Halim Al-Harraniy berkata, “Demi Allah, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah pernah mengatakan demikian . . .”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/525)]
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata setelah menyatakan bahwa hadits ini tidak ada asal-muasalnya, “Hadits ini pernah aku lihat dalam sebagian kitab-kitab orang-orang Syi’ah dan sebagian kitab orang-orang Qodiyaniyyah (Ahmadiyyah). Mereka menjadikannya sebagai dalil tentang wajibnya berimam kepada si Pendusta mereka yang Mirza Ghulam Ahmad, si Nabi gadungan. Andaikan hadits ini shahih, niscaya tidak ada isyarat sedikit pun tentang sesuatu yang mereka sangka, paling tidak intinya kaum muslimin wajib mengangkat seorang pemerintah yang akan dibai’at”. [Lihat As-Silsilah Adh-Dho’ifah (no. 350).
Agama Adalah Akal
Dalam ensiklopedia ini kami petikkan sebuah hadits yang biasa digunakan orang dan masyhur menunjukkan keutamaan akal dan pikiran. Namun, kebanyakan orang tidak mengenal kepalsuan hadits tersebut.
Adapun hadits yang dimaksud, lafazhnya sebagai berikut:
اَلدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ, وَمَنْ لاَدِيْنَ لَهُ لاَ عَقْلَ لَهُ
Agama adalah akal pikiran, Barangsiapa yang tidak ada agamanya, maka tidak ada akal pikirannya”. [HR. An-Nasa`iy dalam Al-Kuna dari jalurnya Ad-Daulabiy dalam Al-Kuna wa Al-Asma’ (2/104) dari Abu Malik Bisyr bin Ghalib dan Az-Zuhri dari Majma’ bin Jariyah dari pamannya]
Hadits ini adalah hadits lemah yang batil karena ada rawinya yang majhul, yaitu Bisyr bin Gholib. Bahkan Ibnu Qayyim -rahimahullah- berkata dalam Al-Manar Al-Munif (hal. 25), “Hadits yang berbicara tentang akal seluruhnya palsu”.
Oleh karena itu Syaikh Al-Albaniy berkata, “Diantara hal yang perlu diingatkan bahwa semua hadits yang datang menyebutkan keutamaan akal adalah tidak shahih sedikit pun. Hadits-hadits tersebut berkisar antara lemah dan palsu. Sungguh aku telah memeriksa, diantaranya hadits yang dibawakan oleh Abu Bakr Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya Al-Aql wa Fadhluh, maka aku menemukannya sebagaimana yang telah aku utarakan, tidak ada yang shahih sama sekali”. [Lihat Adh-Dhi’ifah (1/54)]
Mengusap Tengkuk Ketika Wudhu’
Sebagian kaum muslimin, ketika dia berwudhu’, maka ia mengusap tengkuknya. Benarkah hal ini ada haditsnya yang bisa dijadikan hujjah?
Jawabannya: hadits ada namun ia merupakan hadits palsu.
مَسْحُ الرَقَبََةِ أَمَانٌ مِنَ الْغِلِّ
Mengusap tengkuk merupakan pelindung dari penyakit dengki”.
An-Nawawiy berkata dalam Al-Majmu’ (1/45), “Ini adalah hadits palsu, bukan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-”.
Syaikh Al-Albaniy berkata, “Hadits ini palsu”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/167)]
Dari sini, kita mengetahui tentang tidak disyari’atkannya mengusap tengkuk ketika berwudhu’, karena tidak ada hadits yang shahih menetapkannya. Adapun hadits ini – sebagaimana yang anda lihat- merupakan hadits palsu. Jadi, tidak boleh diamalkan dan dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum.

Pilih Bahasa

Tentang Saya

Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kramatsari
Lihat profil lengkapku

E-Book

E-Book
Download E-Book Islami

Al-Qur'an Terjemah

Kamus Arab Online

Fatwa Tarjih

Pengikut